Menuntut Ilmu Bisa di Mana Saja

mib_201308281047062815_teruslah-menuntut-ilmu

Ilustrasi: Google

Ungkapan ini yang termaktub dalam buku beliau yang berseri memorial seorang santri. Ungkapan penuh motivasi diri untuk meraih kebahagiaan yang hakiki, karena menuntut ilmu adalah juga jalan menuju jannah Allah. Ungkapan ini memberikan semangat kepada siapa saja yang haus akan ilmu, bagi mereka yang terbentur biaya ketika menyambung pendidikan, bagi mereka yang nyaman dengan metode belajarnya sendiri, dan masih banyak lagi.

Banyak kisah orang sukses yang tanpa titel sarjana ataupun gelar es lainnya. Ya mereka nyaman dengan cara belajar seperti itu. Tujuan utama penuntut ilmu tentu bukan titel yang berbaris rapi, melainkan ridho Allah. Adapun nanti bisa es satu, es dua, hingga es tiga dan bertitel panjang, itu bonus dari Allah. Karena titel ini akan memudahkan dalam meraih kesuksesan-kesuksesan hidup.

Bukan sedang membandingkan antara gelar atau non gelar, namun hanya akan sedikit mengupas bagaimana keberhasilan-keberhasilan para non gelar yang tak kalah ‘wow’. Penulis buku Sutra Ungu juga non gelar, di dalam bukunya yang seri memorial seorang santri tadi, beliau menceritakan juga pengalaman belajar beliau di Saudi yang non gelar. Beliau menasihatkan kepada para penuntut ilmu bahwa menuntut ilmu itu bisa di mana saja.

Beliau ini luar biasa, jenius. Di pondok dulu dijuluki ‘kamus berjalan’. Kalau ada ungkapan,” hayo beliau ngono jenius, sinau ra sah kudu sing gelar wae tetep pinter.” Ya, jenius saja tak cukup. Di sana pasti ada semangat yang menggebu untuk memperdalam ilmu, di sana ada rasa cinta ilmu, di sana ada rasa butuh ilmu. Dan orang dengan kemampuan biasa bisa menjadi luar biasa, dengan kesungguhannya dalam memerdalam ilmu.

Yang lain, ini ustadz saya. Ilmu nahwunya dalem, ilmu faroidhnya dalem, bahasa Arab nya cas-cis-sus lancar. Dan beliau hanya lulusan pondok pesantren kampung. Tak kuliah tapi mampu membuat skripsi bagi para pencari gelar es satu. Kuncinya satu, beliau nyaman dengan metode menuntut ilmu yang sesuai dengan kemampuan beliau. Kata beliau suatu waktu,” Saya itu kata teman-teman, nggak pernah belajar tapi nilainya bagus. Mereka tidak tahu, bahwa saya belajar ketika sambil jualan dan pakai kertas sobekan.”

Yang lain lagi, tentang seorang ikhwan yang menurut penuturan banyak orang, ia berkemampuan pas-pasan. Denger-denger, ketika dulu nyantri di pondok ‘terstempel merah’ pemerintah, prestasinya juga cukup. Namun ketekunannya lah yang menjadikan ia punya nilai plus dan mampu bersaing dengan teman-teman lain. Tak ada rasa jemu untuk menuntut ilmu, privat nahwu Alfiyah juga ia tekuni. Pernah juga belajar tiga tahun di ponpes yang menerapkan metode mulazamah, pernah juga belajar di Bekasi, pernah juga belajar di LIPIA yang cuma setahun dan tak bergelar. Namun jangan ditanya bagaimana keilmuannya sekarang, salah satu mahasiswa LIPIA yang terkenal di kota Solo pernah berkata,” Ilmunya itu dalem akh.” Kalau diajak ngomong bahasa Arab juga pasti bakal terheran-heran, bagus bahasanya. Dan kabarnya juga, mampu meminang putri seorang ustadz di Jawa Timur.

Secuil kisah-kisah para non gelar ini bisa menjadi bahan renungan, bahwa ya tak semua orang menginginkan gelar, ada yang menginginkan gelar tapi terbentur banyak hal, ada yang memang suka non gelar.

Penutup. Nasihat ini untuk diri pribadi dan teman-teman sekalian. Untuk terus menuntut ilmu, terus berbekal. Bagi pemilik gelar dan non gelar, ayo kontribusikan kemampuan yang kita miliki untuk berkhidmah kepada Islam.

——-

Rabu, 5 Rabiul Akhir 1438 H
Ponggol, Grabag
Faisal Amri

Tinggalkan komentar